Jika menanti hujan adalah keinginanmu, aku ingin menjadi sang matahari. Ketika bersinar, maka pelangi akan menghiasi langitmu.
Aku tahu langitmu tidak selalu cerah, tidak selalu biru, tidak selalu berawan pula. Namun, disaat langitmu gelap, bisakah aku menjadi mataharimu? Aku tahu kau menunggu hujan turun, tapi aku tidak mau kau selalu menunggunya. Tunggulah aku sesekali. Mungkin kehadiranku membuat langitmu terik bahkan panas menyilaukan dan tidak bersahabat, tapi aku ingin kau tunggu. Apa kau lebih suka menunggu hujan? Aku iri padanya kalau begitu. Apa yang membuatnya spesial di langitmu? Padahal kehadirannya membuat langitmu gelap dan dingin. Terkadang ia datang bersama angin kencang, mereka datang beriringan. Tidakkah kehadiranku lebih indah? Menerangi dan menghangatkan langitmu adalah kehadiranku. Oh, aku tahu. Mungkin kau menyukainya karena ia memainkan lagu untukmu. Apa aku benar? Gemericiknya bagaikan melodi di telingamu. Dinginnya melelapkan tidurmu. Gelapnya menenangkan matamu. Tapi kau juga tahu, bukan? Ia terkadang datang bersama kilatan mengerikan. Menggoncangkan langitmu keras. Tidakkah kau takut?
Aku hanya ingin kau sapa sesekali. Aku ingin kau menunggu hadirku di langitmu. Aku ingin menghiasi langitmu dengan sinarku. Percayalah, langitmu akan indah. Aku ingin kau tersenyum saat memandang langitmu, ada aku.
Hujan, langit, dan matahari memang analogi yang puitis untuk mengutarakan harapan tentang seseorang, tentang mengenang dan tentang hal-hal yang tak tersampaikan karena hati tak mampu untuk menang.
ReplyDelete