Menghilangkan
perasaan terhadap seseorang memang tidak mudah. Apalagi jika perasaan itu
perasaan sayang. Tolong dipahami sekali lagi, ini rasa sayang. Aku tidak mau
membahas cinta, karena cinta yang banyak orang alami itu membosankan. Jika yang
kau bicarakan cinta terhadap sang pencipta atau orang tua, itu lain cerita.
Tolong pisahkan hal dua tersebut sebagai pengecualian tak terbatas.
------
Menikmati
matahari pagi sambil merebah di atas rumput hijau, aku terpejam. Membayangkan
sosokmu hadir di sampingku melakukan hal yang sama. Menoleh bersamaan lalu
tersenyum, kau raih jemariku. Menggenggamnya erat seakaan takut aku hendak pergi
jauh. Tersenyum hangat menampakkan barisan gigi indahmu, lalu kau bergurau hal
ini akan terus berlangsung setiap pagi. “Sepertinya kita membutuhkan taman
rumput luas. Bagaimana jika ditambah rumah kayu?”
Aku tertawa
mendengar celotehanmu. Kau terlihat lucu saat melakukannya. Merajuk meminta
peluk atau melakukan sesuatu, aku merindukannya. Kau sangat manis saat
manja.Aku suka. Disaat seperti itu aku menjadi tempat bergantungmu.
Menyenangkan bisa menjadi gacon beberapa waktu karena aku juga ingin
bisa kau andalkan. Biarkan aku merawat dan menjagamu, seperti yang kau lakukan
kepadaku.
Sebenarnya dalam penilaianku
kau tidak romantis dan itu yang aku suka darimu. Bunga ataupun kata puitis, kau
tidak mampu dalam hal itu. Tapi usahamu untuk romantis aku hargai dengan
tinggi. Kau mempunyai dua buku kecil dengan beberapa hal di dalamnya. Kau
berikan satu kepadaku. Kau menyebutnya buku ‘Rekap Sang Pencuri’. Masing-masing
pemegang buku harus mengisi tugas yang telah ada di buku seperti menempel tiket
nonton bersama, foto pertama, menilai ‘sang pencuri’ mulai dari fisik hingga
sifat dan kepribadian, permohonan maaf tak tersampaikan, bahkan menjelaskan ciuman
pertama. Kau memberikannya untuk diisi bersama sebagai hiburan dan introspeksi.
Kau manis saat
seperti itu, tidak saat kau sedang marah. Matamu membelalak saat sedang sampai
puncaknya. Aku takut, sungguh. Terkadang kau mengeluarkan kata kasar. Yang aku
suka darimu kau tidak ringan tangan, hanya saja lidahmu tajam. Kau juga masih
mampu mengatur nada suaramu meskipun emosi kadang lompat dari batasnya. Aku
takut dan menangis saat kau seperti itu. Tapi aku sadar kau melakukannya karena
aku keras kepala. Kau mengerti jika aku dimanja selalu, aku tidak akan maju.
Jika aku tidak disadarkan dari kesalahan maka aku tidak akan menjadi insan yang
baik. Terima kasih sudah memarahiku. Aku tidak menyimpan dendam terhadapmu.
Pagi, siang,
malam, kau rajin mengabari lewat pesan ataupun telepon. Menanyakan hal-hal
kecil yang kadang tidak penting sama sekali. Bercerita apa yang sedang kau
lakukan, bersama siapa, dimana, padahal aku tidak menanyakannya. Saat aku
bertanya mengapa kau melakukan hal itu, kau bilang agar aku tidak khawatir dan
memikirkan hal buruk. Agar aku tidak merasa sepi saat tidak ada dirimu. Kau
juga berkata bahwa aku prioritas kedua setelah keluargamu. Terdengar
menggelitik di telingaku, kau tahu? Aku hanya tertawa mendengarnya. Tapi aku
senang, sungguh.
Awal Mei kala
itu, dua bulan sebelum ulang tahunku kau memberikanku sebuah jam tangan
berwarna peach dengan sentuhan ungu dan merah jambu. Kau memakaikannya
di malam hari jadi kita, di lepas pantai menjelang sunset. Kau berkata
untuk memakainya selalu, menjaganya, dan untuk mengingat waktu tentu saja. Sejenak
aku terdiam saat itu, aku berpikir maksudmu ‘mengingat waktu’ adalah ‘mengingat
umur’. Seolah kau bisa membaca pikiranku, kau pun berkata “Ini untuk menghargai
setiap waktu yang kamu, aku, dan kita miliki”. Aku hanya mengangguk dan
tersenyum, padahal aku tidak mengerti. Belum memahami.
0 comments:
Post a Comment