Anggara Wisesa (1)

by 23:23 0 comments
Menghilangkan perasaan terhadap seseorang memang tidak mudah. Apalagi jika perasaan itu perasaan sayang. Tolong dipahami sekali lagi, ini rasa sayang. Aku tidak mau membahas cinta, karena cinta yang banyak orang alami itu membosankan. Jika yang kau bicarakan cinta terhadap sang pencipta atau orang tua, itu lain cerita. Tolong pisahkan hal dua tersebut sebagai pengecualian tak terbatas.

------

Menikmati matahari pagi sambil merebah di atas rumput hijau, aku terpejam. Membayangkan sosokmu hadir di sampingku melakukan hal yang sama. Menoleh bersamaan lalu tersenyum, kau raih jemariku. Menggenggamnya erat seakaan takut aku hendak pergi jauh. Tersenyum hangat menampakkan barisan gigi indahmu, lalu kau bergurau hal ini akan terus berlangsung setiap pagi. “Sepertinya kita membutuhkan taman rumput luas. Bagaimana jika ditambah rumah kayu?”

Aku tertawa mendengar celotehanmu. Kau terlihat lucu saat melakukannya. Merajuk meminta peluk atau melakukan sesuatu, aku merindukannya. Kau sangat manis saat manja.Aku suka. Disaat seperti itu aku menjadi tempat bergantungmu. Menyenangkan bisa menjadi gacon beberapa waktu karena aku juga ingin bisa kau andalkan. Biarkan aku merawat dan menjagamu, seperti yang kau lakukan kepadaku.

Sebenarnya dalam penilaianku kau tidak romantis dan itu yang aku suka darimu. Bunga ataupun kata puitis, kau tidak mampu dalam hal itu. Tapi usahamu untuk romantis aku hargai dengan tinggi. Kau mempunyai dua buku kecil dengan beberapa hal di dalamnya. Kau berikan satu kepadaku. Kau menyebutnya buku ‘Rekap Sang Pencuri’. Masing-masing pemegang buku harus mengisi tugas yang telah ada di buku seperti menempel tiket nonton bersama, foto pertama, menilai ‘sang pencuri’ mulai dari fisik hingga sifat dan kepribadian, permohonan maaf tak tersampaikan, bahkan menjelaskan ciuman pertama. Kau memberikannya untuk diisi bersama sebagai hiburan dan introspeksi.

Kau manis saat seperti itu, tidak saat kau sedang marah. Matamu membelalak saat sedang sampai puncaknya. Aku takut, sungguh. Terkadang kau mengeluarkan kata kasar. Yang aku suka darimu kau tidak ringan tangan, hanya saja lidahmu tajam. Kau juga masih mampu mengatur nada suaramu meskipun emosi kadang lompat dari batasnya. Aku takut dan menangis saat kau seperti itu. Tapi aku sadar kau melakukannya karena aku keras kepala. Kau mengerti jika aku dimanja selalu, aku tidak akan maju. Jika aku tidak disadarkan dari kesalahan maka aku tidak akan menjadi insan yang baik. Terima kasih sudah memarahiku. Aku tidak menyimpan dendam terhadapmu.


Pagi, siang, malam, kau rajin mengabari lewat pesan ataupun telepon. Menanyakan hal-hal kecil yang kadang tidak penting sama sekali. Bercerita apa yang sedang kau lakukan, bersama siapa, dimana, padahal aku tidak menanyakannya. Saat aku bertanya mengapa kau melakukan hal itu, kau bilang agar aku tidak khawatir dan memikirkan hal buruk. Agar aku tidak merasa sepi saat tidak ada dirimu. Kau juga berkata bahwa aku prioritas kedua setelah keluargamu. Terdengar menggelitik di telingaku, kau tahu? Aku hanya tertawa mendengarnya. Tapi aku senang, sungguh.

Awal Mei kala itu, dua bulan sebelum ulang tahunku kau memberikanku sebuah jam tangan berwarna peach dengan sentuhan ungu dan merah jambu. Kau memakaikannya di malam hari jadi kita, di lepas pantai menjelang sunset. Kau berkata untuk memakainya selalu, menjaganya, dan untuk mengingat waktu tentu saja. Sejenak aku terdiam saat itu, aku berpikir maksudmu ‘mengingat waktu’ adalah ‘mengingat umur’. Seolah kau bisa membaca pikiranku, kau pun berkata “Ini untuk menghargai setiap waktu yang kamu, aku, dan kita miliki”. Aku hanya mengangguk dan tersenyum, padahal aku tidak mengerti. Belum memahami.

vina

Developer

Curhatan orang galau, gak punya kerjaan.

0 comments:

Post a Comment