Don’t judge
the book from its cover. Jangan
menilai orang dari penampilannya.
Kita tidak pernah
tahu siapa dan seperti apa masa lalu seseorang. Berhati-hati lah dalam menilai.
---------------------------------------------------------
Hari ini saya
mendapatkan banyak ilmu—sama seperti hari biasanya—hanya saja kali ini ada hal
yang spesial. Sore itu sepulang kuliah teman saya, Indri, berencana untuk
membeli beberapa keperluan kuliah. Ia mengajak saya untuk ikut menemani ke
salah satu toko buku di jalan Jendral Sudirman. Kebetulan saya senang pergi ke
toko buku, maka pergilah kami menggunakan angkutan umum.
Awalnya saya
tidak berniat membeli apapun, namun entah mengapa setiap saya pergi ke tempat
seperti itu banyak godaan untuk menguras dompet. Benar saja, saya mengambil
satu buah novel karya Christian Simamora yang berjudul CO2 (Come On
Over) dan satu buku tulis yang direncanakan untuk jurnal mata kuliah Menulis
III.
Saat keluar toko,
kami menuju toko donat untuk nongkrong-nongkrong cantik sambil menyicil
tugas kuliah. Ditemani segelas Ice Chocolate dan satu donat, kami mulai
bekerja. Diselingi obrolan tidak penting dan curi-curi waktu untuk update
di media sosial, akhirnya kami berhasil menyelesaikan tugas tersebut. Tidak seratus
persen, hanya mendekati. Dinginnya ruangan membuat kami lapar dan berakhir dengan
berjalan kaki menuju nasi goreng padmanaba.
Maka disini lah
hal spesial itu dimulai. Pukul 17.25, mungkin, kami memutuskan untuk pulang. Kost
cukup jauh, apalagi kost saya. Maka kami menggunakan taksi. Tidak mudah mendapatkannya,
karena itu kami jalan hingga lampu merah dekat kantor polisi. Datanglah taksi
(saya lupa nama armadanya) yang disupiri oleh bapak tua. Seumuran dengan kakek
saya, mungkin.
“Mau kemana,
mbak?” tanya sang supir.
“Ke Gudeg Sagan
dulu, pak. Lau ke Pandega Tamtama” jawab, Indri.
Taksi melaju
dengan santai. Bapak tua ini ramah dan hangat. Beliau memulai pembicaraan
dengan baik setelah kami masuk. Tentu saja kami merespon meskipun seadanya.
Hingga akhirnya Indri turun, tinggalah saya dan bapak supir ini. Kami mulai
berbicara tentang beberapa hal, namun setelah itu diam. Untuk mencairkan
suasana, saya pun memulai pembicaraan ketika mobil berhenti di lampu merah
kehutanan.
“Bapak, kalau
tidak ada penumpang bagaimana? Terus muter-muter aja, gitu?”
“Oh iya lah,
mbak. Kalau tidak begitu saya tidak akan dapat penumpang” jawab bapak supir
dengan tertawa.
“Oh begitu,” saya
pun ikut tertawa “saat sulit BBM kemarin, bapak juga kesulitan, ngga?”
“Oh tidak, mbak.
Taksi dan bis itu didahulukan. Jadi aman. Ya kalau tidak begitu, bagaimana bisa
beroperasi? Kesulitan nanti, mbak” jawab bapak supir sambil tersenyum.
Saya hanya
menganguk, lalu terdiam. Seolah kehabisan bahan pembicaraan, bapak supir
kembali bertanya seputar perkuliahan saya. Mulai dari semester hingga jurusan. Beliau
pun sempat menasehati saya agar belajar dengan benar dan rajin. Saat tahu saya
berada di jurusan bahasa inggris, bapak supir memulai pembicaraan kembali
dengan bahasa inggris. Saya sempat kaget karena beliau melafalkan dengan cepat.
Terkadang saya tidak menangkap apa yang dimaksud.
“Did I talk too
fast?”
“Yes, quite fast.
But I still can get what you mean” jawab saya sedikit ragu.
Bapak supir
mengangguk sambil tertawa. Kemudian dia bercerita tentang dirinya, tentu saja
dengan bahasa inggris.Ternyata beliau pernah bekerja sebagai kantor konsulat di
Kanada selama 15 tahun. Namun karena istrinya sering sakit-sakitan, beliau
memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan menetap serta bekerja disini. Beliau mempunyai
tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Dari anak-anaknya, beliau
memiliki enam cucu.
Kedua anak
laki-lakinya sekarang bekerja di tempat yang sama di Kanada. Pulang setahun sekali
dan baru kemarin anaknya pulang bersama sang istri. Mereka menetap selama dua
bulan sejak Juli. Menantunya yang bukan berkebangsaan Indonesia,
mengharuskannya berbicara dengan bahasa inggris. Saya tidak begitu menangkap
pembicaraan terakhir, namun yang saya pahami di keluarga bapak supir ini bahasa
inggris sangat diterapkan. Beliau berkata bahwa keluarganya mengaharuskan
berbicara dalam bahasa inggris. Saya hanya terkagum, bingung harus berkata apa.
Terlepas dari penampilan dan pekerjaannya sebagai seorang supir taksi, saya
mengagumi beliau. Sayang hingga sampai kost, saya tidak tahu nama beliau.
“Nice to meet you
too. See you!” itulah kata terkahir dari bapak supir tua dengan masa lalu yang hebat.
0 comments:
Post a Comment