Bapak Supir Taksi

by 06:58 0 comments
Don’t judge the book from its cover. Jangan menilai orang dari penampilannya.
Kita tidak pernah tahu siapa dan seperti apa masa lalu seseorang. Berhati-hati lah dalam menilai.

---------------------------------------------------------

Hari ini saya mendapatkan banyak ilmu—sama seperti hari biasanya—hanya saja kali ini ada hal yang spesial. Sore itu sepulang kuliah teman saya, Indri, berencana untuk membeli beberapa keperluan kuliah. Ia mengajak saya untuk ikut menemani ke salah satu toko buku di jalan Jendral Sudirman. Kebetulan saya senang pergi ke toko buku, maka pergilah kami menggunakan angkutan umum.

Awalnya saya tidak berniat membeli apapun, namun entah mengapa setiap saya pergi ke tempat seperti itu banyak godaan untuk menguras dompet. Benar saja, saya mengambil satu buah novel karya Christian Simamora yang berjudul CO2 (Come On Over) dan satu buku tulis yang direncanakan untuk jurnal mata kuliah Menulis III.

Saat keluar toko, kami menuju toko donat untuk nongkrong-nongkrong cantik sambil menyicil tugas kuliah. Ditemani segelas Ice Chocolate dan satu donat, kami mulai bekerja. Diselingi obrolan tidak penting dan curi-curi waktu untuk update di media sosial, akhirnya kami berhasil menyelesaikan tugas tersebut. Tidak seratus persen, hanya mendekati. Dinginnya ruangan membuat kami lapar dan berakhir dengan berjalan kaki menuju nasi goreng padmanaba.

Maka disini lah hal spesial itu dimulai. Pukul 17.25, mungkin, kami memutuskan untuk pulang. Kost cukup jauh, apalagi kost saya. Maka kami menggunakan taksi. Tidak mudah mendapatkannya, karena itu kami jalan hingga lampu merah dekat kantor polisi. Datanglah taksi (saya lupa nama armadanya) yang disupiri oleh bapak tua. Seumuran dengan kakek saya, mungkin.

“Mau kemana, mbak?” tanya sang supir.

“Ke Gudeg Sagan dulu, pak. Lau ke Pandega Tamtama” jawab, Indri.

Taksi melaju dengan santai. Bapak tua ini ramah dan hangat. Beliau memulai pembicaraan dengan baik setelah kami masuk. Tentu saja kami merespon meskipun seadanya. Hingga akhirnya Indri turun, tinggalah saya dan bapak supir ini. Kami mulai berbicara tentang beberapa hal, namun setelah itu diam. Untuk mencairkan suasana, saya pun memulai pembicaraan ketika mobil berhenti di lampu merah kehutanan.

“Bapak, kalau tidak ada penumpang bagaimana? Terus muter-muter aja, gitu?”

“Oh iya lah, mbak. Kalau tidak begitu saya tidak akan dapat penumpang” jawab bapak supir dengan tertawa.

“Oh begitu,” saya pun ikut tertawa “saat sulit BBM kemarin, bapak juga kesulitan, ngga?”

“Oh tidak, mbak. Taksi dan bis itu didahulukan. Jadi aman. Ya kalau tidak begitu, bagaimana bisa beroperasi? Kesulitan nanti, mbak” jawab bapak supir sambil tersenyum.

Saya hanya menganguk, lalu terdiam. Seolah kehabisan bahan pembicaraan, bapak supir kembali bertanya seputar perkuliahan saya. Mulai dari semester hingga jurusan. Beliau pun sempat menasehati saya agar belajar dengan benar dan rajin. Saat tahu saya berada di jurusan bahasa inggris, bapak supir memulai pembicaraan kembali dengan bahasa inggris. Saya sempat kaget karena beliau melafalkan dengan cepat. Terkadang saya tidak menangkap apa yang dimaksud.

“Did I talk too fast?”

“Yes, quite fast. But I still can get what you mean” jawab saya sedikit ragu.

Bapak supir mengangguk sambil tertawa. Kemudian dia bercerita tentang dirinya, tentu saja dengan bahasa inggris.Ternyata beliau pernah bekerja sebagai kantor konsulat di Kanada selama 15 tahun. Namun karena istrinya sering sakit-sakitan, beliau memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan menetap serta bekerja disini. Beliau mempunyai tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Dari anak-anaknya, beliau memiliki enam cucu.

Kedua anak laki-lakinya sekarang bekerja di tempat yang sama di Kanada. Pulang setahun sekali dan baru kemarin anaknya pulang bersama sang istri. Mereka menetap selama dua bulan sejak Juli. Menantunya yang bukan berkebangsaan Indonesia, mengharuskannya berbicara dengan bahasa inggris. Saya tidak begitu menangkap pembicaraan terakhir, namun yang saya pahami di keluarga bapak supir ini bahasa inggris sangat diterapkan. Beliau berkata bahwa keluarganya mengaharuskan berbicara dalam bahasa inggris. Saya hanya terkagum, bingung harus berkata apa. Terlepas dari penampilan dan pekerjaannya sebagai seorang supir taksi, saya mengagumi beliau. Sayang hingga sampai kost, saya tidak tahu nama beliau.


“Nice to meet you too. See you!” itulah kata terkahir dari bapak supir tua dengan masa lalu yang hebat.

vina

Developer

Curhatan orang galau, gak punya kerjaan.

0 comments:

Post a Comment